Pemeriksaan untuk mendiagnosis seseorang apakah positif terinfeksi COVID-19 atau negatif sejauh ini baku emasnya adalah swab PCR (Polymerase Chain Reaction). Namun, pemeriksaan ini membutuhkan waktu hitungan jam bahkan hari (jika terjadi antrian dalam pengetesan) dan biaya yang relatif mahal. Oleh karena itu, penelitian mencari tes yang lebih cepat dan murah terus dilakukan dan sejauh ini sudah ada rapid test sebagai tes yang lebih cepat dan murah daripada PCR walaupun memang harus diakui tidak seakurat PCR.
Berita Terbaru
Gejala COVID-19 mirip dengan penyakit-penyakit pernapasan lain yang sudah biasa kita temukan, misalnya batuk-pilek dan influenza. Namun, penyebabnya berbeda dengan penyakit-penyakit biasa ditambah dengan penyebarannya yang sangat cepat. Oleh karena gejalanya yang tidak spesifik, pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan untuk memastikan penyakit ini COVID-19 atau bukan.
Saat ini beredar beberapa alat tes untuk mendeteksi COVID-19, namun penggunaan dan hasilnya tidak sama. Dalam serial artikel ini, kita akan membahas rapid test.
Setiap tanggal 29 Oktober diperingati sebagai Hari Stroke Sedunia. Menurut Kementerian Kesehatan:
Stroke adalah kondisi atau kumpulan gejala yang terjadi akibat gangguan pasokan darah ke otak. Gangguan pasokan darah dapat terjadi karena penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah, sehingga terjadi kematian pada sebagian sel-sel di otak. Stroke adalah penyakit tidak menular (PTM) yang mengurangi kualitas hidup penderitanya secara drastis.
Riset Kesehatan Dasar Nasional Tahun 2018 mencatat bahwa 1,09% penduduk Indonesia yang berusia di atas 15 tahun terkena stroke.
ODHA adalah orang dengan (Human Immunodeficiency Virus) atau virus yang menyerang sistem imunitas tubuh sehingga menyebabkan kondisi yang disebut dengan AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome), yaitu sindrom (kumpulan gejala penyakit) akibat menurunnya sistem imunitas tubuh. Program Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk HIV/AIDS memiliki target dunia 2020 yang disebut 90-90-90: 90% ODHA mengetahui statusnya, 90% ODHA mendapatkan terapi antiretroviral (ARV) secara berkelanjutan, dan 90% ODHA yang sudah mendapatkan terapi ARV kadar virus di tubuhnya sudah tersupresi. Salah satu hal yang penting untuk mencapai target ini adalah stop stigma pada ODHA.
Pencegahan Covid-19 yang paling efektif selama belum ditemukan vaksin adalah menghindari bertemu orang lain. Sayangnya, kadang-kadang ada aktivitas-aktivitas ekonomi yang mengharuskan seseorang untuk tetap bertemu dengan orang lain. Oleh karena itu, jika aktivitas yang mengharuskan pertemuan manusia dengan manusia tidak dapat terhindarkan, maka protokol VDJ (Ventilasi, Durasi, Jarak) perlu dipraktikkan untuk mengurangi risiko penyebaran Covid-19.
Bagaimana protokol ventilasi durasi jarak, apa saja yang harus dihindari untuk mencegah penyebaran Covid-19?
“Mengapa kita harus menggunakan masker padahal kita merasa sehat-sehat saja?”
- Tidak ada yang tahu secara pasti kondisi dirinya
Pada prinsipnya, kita tidak bisa memastikan diri kita terinfeksi atau tidak kecuali dengan tes lab. Bisa jadi kita tidak merasakan gejala sama sekali, namun ternyata kita sudah terinfeksi dan dapat menularkan ke orang lain tanpa kita sadari. Menurut WHO, sebanyak 80% orang yang terinfeksi Covid-19 tidak bergejala atau bergejala ringan. Oleh karena itu, menggunakan masker adalah hal yang sangat bijak. Tentu amat bijak bila kita – yang tidak tahu secara pasti kita sehat atau terinfeksi – menggunakan masker, sehingga tidak menularkan ke orang lain. Amat bijak juga bila kita menggunakan masker sehingga mengurangi kemungkinan terinfeksi dari orang lain, yang kita anggap sehat-sehat saja, yang ternyata bisa jadi orang tersebut terinfeksi tanpa gejala dan bisa menularkan.
Setiap tanggal 10 Oktober diadakan peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Kesehatan jiwa adalah salah satu bidang kesehatan masyarakat yang paling terabaikan. Hampir satu miliar orang hidup dengan masalah kejiwaan (IHME, 2018), tiga juta orang meninggal setiap tahun akibat penggunaan alkohol yang berbahaya, dan satu orang meninggal setiap 40 detik karena bunuh diri (WHO, 2018). Saat ini, miliaran orang di seluruh dunia telah terpengaruh oleh pandemi COVID-19, yang berdampak lebih jauh pada kesehatan jiwa masyarakat.
Pemerintah mewajibkan seluruh masyarakat untuk menggunakan masker selama beraktivitas di luar rumah. Namun, jenis masker apakah yang harus kita gunakan? Apakah masker yang biasa kita gunakan sudah cocok dengan kita dan sudah efektif? Mari kita mengenal jenis-jenis masker.
1. Masker kain
Masker kain adalah masker yang dianjurkan pemerintah untuk digunakan oleh masyarakat umum. Masker kain yang direkomendasikan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO/World Health Organization) bukan sembarang satu lapis kain yang dijadikan masker melainkan masker yang tersusun oleh tiga lapisan sebagai berikut:
Belum semua masyarakat mengetahui cara menggunakan masker yang benar. Sebagai contoh, masih ditemukan masyarakat yang menyentuh bagian luar dan dalam masker saat menggunakan dan melepas masker. Hal ini kurang tepat karena bagian tersebut kemungkinan besar sudah terkontaminasi oleh droplet yang bisa menyebarkan virus. Apabila disentuh oleh tangan, maka tangan dapat menyebarkan droplet tersebut ke berbagai tempat/bagian tubuh.
Yuk, kita belajar tentang cara menggunakan masker yang benar.
Cara penggunaan:
Gerakan Rumah Bebas Asap Rokok (RBAR) yang diinisiasi oleh Proyek Quit Tobacco Indonesia (QTI) di bawah Pusat Perilaku dan Promosi Kesehatan dan Pusat Bioetika dan Humaniora Kesehatan FK-KMK UGM pada tahun 2009 membawa manfaat yang begitu besar terutama dalam memberikan perlindungan terhadap perokok pasif dan mendukung tercapainya salah satu indikator PHBS. Saat ini kegiatan tersebut sudah masuk sebagai salah satu program pemerintah khususnya Dinas Kesehatan. Pada tahun 2009 QTI menginisiasi 4 RW sebagai percontohan kegiatan RBAR dan hingga saat ini sudah berkembang menjadi lebih dari 230 RW yang sudah mendeklarasikan RW dengan RBAR. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin sadar akan pentingnya gerakan ini untuk meningkatkan kesehatan masyarakat di wilayahnya. Di Yogyakarta, kegiatan ini juga sudah dikembangkan oleh 4 Kabupaten lain, dimana lingkup kegiatan ada yang di tingkat RT dan ada juga di tingkat pedukuhan. Selain di Yogyakarta, kegiatan ini juga sudah banyak dikembangkan di kota dan kabupaten lain di Indonesia.