Pemasaran rokok mencakup perluasan dan/atau penggunaan merk, pembagian rokok gratis, menampilkan produk di tempat penjualan, dan kegiatan sosial untuk pencitraan perusahaan yang dikenal sebagai CSR. Pemasaran produk tembakau ditampilkan secara langsung maupun tidak langsung melalui televisi, radio, media cetak, billboards dan juga media sosial. Peningkatan penggunaan internet di Indonesia, dimanfaatkan oleh industri tembakau untuk memasarkan produknya secara digital. Akibatnya, rokok semakin marak di media sosial. Lalu apa pengaruhnya?
Pusat Perilaku dan Promosi Kesehatan, FK-KMK, UGM mengadakan webinar untuk membahas pengaruh iklan rokok di media sosial. Webinar ini diadakan secara daring menggunakan Zoom Cloud Meeting pada tanggal 8 Desember 2022. Topik yang dibahas pada webinar ini mengenai marketing rokok di media sosial dan pengaruhnya, fenomena unggahan aktivitas merokok di media sosial yang menjadi iklan tak berbayar untuk industri tembakau dan strategi yang perlu dilakukan untuk mengatasi pengaruh marketing rokok di media sosial.
Materi pertama disampaikan oleh Silvia Dini atau yang biasa disapa dengan Mbak Dini dari Vital Strategies. Mbak Dini mengatakan bahwa industri tembakau mulai beralih memasarkan produknya dari konvensional ke media digital. Adanya peraturan daerah tentang Kawasan Tanpa Asap Rokok (KTR) mampu membatasi iklan dan promosi rokok. Industri tembakau melihat adanya peluang pada media online dengan peningkatan penggunaan media sosial yang sangat masif di Indonesia. Data dari Vital Strategies menyebutkan bahwa Instagram adalah platform digital yang paling banyak digunakan untuk beriklan (67%). Survei paparan iklan, promosi dan kegiatan bersponsor rokok pada remaja di Indonesia oleh Vital Strategies dan ABKIN tahun 2021 menemukan bahwa 4 dari 10 remaja di Indonesia pernah melihat atau mendengar iklan rokok secara online. Paparan iklan, promosi dan sponsor rokok yang secara singkat mampu mempengaruhi inisiasi remaja untuk merokok. Padahal, Indonesia memiliki target untuk menurunkan prevalensi perokok anak pada RPJMN tahun 2024.
Vital Strategies memiliki sistem pemantauan iklan rokok untuk melacak dan memberikan gambaran kegiatan pemasaran rokok secara online melalui TERM (Tobacco enforcement and reporting movement). Data TERM dari Mei hingga Agustus 2022 menemukan bahwa rokok konvensional menjadi jenis produk rokok yang paling banyak diiklankan di internet (82%), disusul dengan rokok elektrik (17%) dan produk yang dipanaskan (<1%).
Industri tembakau memasarkan produknya melalui beberapa jenis marketing, yaitu dengan memberikan informasi yang terkini misalnya tentang kompetisi olahraga atau penyanyi yang merilis album baru. Marketing produk tembakau dilakukan pula dengan menunjukkan fitur produk seperti pilihan rasa dan warna. Biasanya jenis iklan ini digunakan untuk memasarkan produk rokok elektrik, seperti menginformasikan daya baterai atau fitur touch screen. Rokok dan produk tembakau lainnya juga disimbolkan sebagai gaya hidup mewah yang keren dan kekinian (glamorisasi), sehingga menarik target konsumennya untuk membeli. Jenis marketing lainnya yaitu dengan mempromosikan produk dengan menampilkan video/gambar yang menyenangkan atau berisi candaan sehingga diterima targetnya sebagai hiburan. Industri tembakau juga menampilkan perawatan diri dan gaya hidup sehat dan klaim kesehatan bahwa produk yang ditawarkan tidak lebih berbahaya. Industri tembakau banyak memanfaatkan peringatan hari besar, termasuk hari besar keagamaan untuk mempromosikan produknya. Industri tembakau mencitrakan dirinya dengan kegiatan sosial dan pemberdayaan terhadap perempuan.
Tidak hanya dari iklan berbayar, “Big tobacco” mendapat aliran iklan tak berbayar dari pengguna media sosial yang mengunggah foto selfie merokok (#smokingselfie) dan secara tidak langsung meningkatkan perokok pemula. Hal ini disampaikan oleh Nina Samidi dari Komnas Pengendalian Tembakau. #Smokingselfie dibagi menjadi tiga, yaitu berupa endorsement oleh akun-akun yang diduga front-groups industry; endorsement yang dilakukan oleh influencer dan kehadiran the evangelists, yaitu orang-orang yang secara sukarela mengunggah aktivitas merokok di media sosial. Nina menyampaikan bahwa the evangelists secara sadar atau tidak sadar telah membantu industri tembakau dalam mempromosikan rokok melalui media sosial dengan unggahan swafoto dan menganggapnya menjadi perilaku yang keren. Fenomena unggahan aktivitas merokok di media sosial ini berdampak pada normalisasi perilaku merokok.
Fenomena #smokingselfie ini faktanya lebih banyak dilakukan oleh perempuan. Dalam beberapa dekade, gagasan tentang perempuan merokok tidak hanya bisa diterima tetapi juga diinginkan. Perubahan sikap sosial terhadap perempuan dimanfaatkan industri tembakau dengan mempromosikan rokok sebagai simbol emansipasi. Industri tembakau memasarkan produknya dengan membawa narasi kesetaraan gender untuk menargetkan perempuan. WHO menyebutkan bahwa perempuan menjadi peluang pemasaran produk tembakau terbesar di dunia. Rokok dinarasikan sebagai “obor kebebasan” atau torch of freedom bagi perempuan. Jika perempuan mengatakan bahwa mereka adalah subjek terhadap dirinya sendiri karena mereka menentukan kebebasan dengan merokok, sebenarnya mereka sedang ditindas oleh korporasi besar, yaitu industri rokok yang memanfaatkan mereka sebagai objek pemasaran.
Fenomena unggahan merokok di media sosial juga dilakukan dengan maraknya review produk rokok dalam bentuk infografis/gambar, foto mau pun video. Review produk rokok juga menjadi iklan tak berbayar yang mendorong konten-konten organik untuk melakukan ulasan serupa. Meskipun konten mengenai review produk tembakau juga dimungkinkan permintaan industri.
Fenomena maraknya unggahan mengenai rokok baik berupa iklan dan iklan tak berbayar di media sosial menjadi tantangan baru dalam promosi kesehatan. Lalu strategi apa yang sebaiknya dilakukan untuk mencegah dampak negatifnya? Guru besar Universitas Gadjah Mada, Prof. Yayi Suryo Prabandari menyebutkan bahwa pengaruh negatif iklan rokok dapat dicegah dengan memberikan literasi tentang iklan rokok, memperbanyak informasi mengenai pengendalian tembakau di media sosial, selektif dalam memilih media, kritis dalam melihat media sosial dan memberikan pemahaman mengenai rokok dan industri. Tidak hanya mengedukasi mengenai bahaya rokok, namun ada yang ada di balik iklan rokok.
Pengendalian tembakau, termasuk dalam menangani dampak yang terjadi dari iklan dan promosi rokok perlu dilakukan bersama-sama. Tenaga kesehatan dapat memberikan dukungan dengan menyediakan bantuan berhenti merokok melalui konseling, intervensi perilaku, penyelenggaraan call center atau menyebarkan pesan berhenti merokok berbasis internet, termasuk dengan melibatkan influencer. Akademisi dapat mengambil peran dengan melakukan advokasi kepada pemerintah untuk melarang iklan rokok di semua lini, tidak menerima beasiswa yang bersumber dari industri rokok di perguruan tinggi dan pengendalian rokok yang dimasukkan ke dalam tri darma misalnya melalui Health Promoting University/ HPU atau kampus sehat. Orang tua juga memiliki peran sebagai panutan anak-anaknya dengan tidak merokok, memberikan aturan penggunaan gadget dan mengedukasi untuk hidup sehat termasuk menyediakan sarananya.
(Tulisan berdasarkan materi webinar yang diresume oleh Ifa Najiyati).
Materi dapat diunduh disini