• UGM
  • IT Center
  • FKKMK
Universitas Gadjah Mada PUSAT PERILAKU DAN PROMOSI KESEHATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT, DAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
  • Beranda
  • Profil
    • Visi Misi
    • Struktur Organisasi
    • Kompetensi
    • Spesifikasi
  • Kegiatan
    • Penelitian
    • Pelatihan
    • Pengabdian Masyarakat
    • Pengembangan Keilmuan
  • Publikasi
  • Media
  • Dokumen
    • Pedoman/Panduan
    • Policy Brief
  • Beranda
  • COVID-19
Arsip:

COVID-19

5 Cara Mencegah Resistensi Antimikroba

Berita TerbaruCOVID-19Umum Thursday, 19 November 2020

World Health Organization (WHO) menetapkan tanggal 18 – 24 November 2020 sebagai Pekan Peduli Antimikroba Sedunia. Pekan Peduli Antibiotik Sedunia ini bertujuan untuk meningkatkan kepedulian akan resistensi antimikroba. Sejak tahun ini, istilah antimikroba, alih-alih antibiotik, dipilih untuk merepresentasikan cakupan obat yang lebih luas. Golongan antimikroba mencakup obat-obat antibiotik (untuk membunuh bakteri), antivirus, antiparasit, dan antijamur.

Dalam penggunaan obat-obat golongan antimikroba, salah satu isu yang krusial adalah resistensi obat. Persoalan resistensi obat antibiotik sudah menjadi masalah sejak lama. Namun, akhir-akhir ini permasalahan resistensi ini bertambah dengan terjadinya resistensi obat antivirus, antiparasit, dan antijamur (WHO, 2020).

Resistensi obat antimikroba adalah keadaan saat bakteri, virus, jamur, dan parasit mengalami perubahan seiring dengan waktu, sehingga tidak lagi merespons obat-obatan yang dirancang untuk membunuh mikroba-mikroba  tersebut (WHO, 2020).

WHO sudah menetapkan bahwa resistensi antimikroba termasuk dalam 10 besar masalah kesehatan global. Resistensi antimikroba dapat menyebabkan infeksi semakin sulit diobati, serta meningkatkan risiko penyebaran penyakit, peningkatan keparahan penyakit, dan kematian.

Bagaimana cara kita mencegah resistensi antimikroba?
  1. Hanya menggunakan obat antimikroba (termasuk antibiotik) jika diresepkan oleh dokter.

Jangan mengonsumsi antimikroba, termasuk antibiotik, kecuali mendapat resep dari dokter. Tidak semua penyakit membutuhkan obat antimikroba. Untuk memutuskan antimikroba yang perlu dikonsumsi, pasien harus berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu.

Pengobatan sendiri (swamedikasi) dengan antimikroba tanpa berkonsultasi dengan dokter dapat menyebabkan ketidaktepatan pengobatan. Sebagai contoh, ketika kita sedang pilek, bisa jadi penyebabnya adalah virus influenza atau justru penyebabnya bukan mikroba sama sekali (seperti alergi).

Pemberian antimikroba yang tidak tepat dapat memicu resistensi. COVID-19 juga penyakit akibat virus. Virus tidak mati dengan antibiotik karena antibiotik dirancang untuk membunuh bakteri.

  1. Mengonsumsi obat antimikroba yang diberikan dengan resep dokter sesuai dengan petunjuk dokter sampai habis.

Apabila dokter meresepkan obat-obat antimikroba, obat tersebut harus dikonsumsi sampai habis dan sesuai dengan petunjuk dokter, bahkan ketika gejala sudah tidak dirasakan lagi.  Kita juga dapat berkonsultasi dengan apoteker yang menyerahkan obat untuk bertanya lebih lanjut tentang penggunaan obat antimikroba yang diresepkan oleh dokter.

  1. Tidak mengulang konsumsi antimikroba tanpa anjuran dokter

Apabila obat antimikroba yang diresepkan oleh dokter sudah habis, pasien tidak boleh membeli sendiri obat tersebut untuk dikonsumsi kembali. Jika pengobatan sudah selesai tetapi masih merasakan gejala sakit maka sebaiknya berkonsultasi kembali dengan dokter.

  1. Tidak menghentikan sendiri pengobatan antimikroba yang diresepkan oleh dokter

Jika ada hal-hal yang tidak nyaman dirasakan selama menggunakan obat antimikroba, segera kembali ke dokter untuk melaporkan ketidaknyamanan tersebut. Dokter mungkin perlu memeriksa dan mengganti pilihan antimikroba sesuai dengan kebutuhan.

  1. Menjaga kebersihan dan sering mencuci tangan

Menjaga kebersihan serta sering mencuci tangan menggunakan air mengalir dan sabun dapat mencegah penyebaran kuman seperti bakteri dan virus tanpa harus menggunakan obat.

 

Daftar Pustaka

https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/antimicrobial-resistance diakses 18 November 2020

Hari Diabetes Sedunia

Berita TerbaruUmum Tuesday, 17 November 2020

Setiap tanggal 14 November diperingati Hari Diabetes Sedunia. Menurut International Diabetes Federation (2019), 1 di antara 11 orang dewasa usia 20 – 79 tahun di seluruh dunia terkena diabetes (sekitar 463 juta orang) namun ternyata 1 dari 2 orang dewasa yang terkena diabetes tidak sadar bahwa dia terkena diabetes (232 juta orang).

Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018 menunjukkan bahwa angka kejadian diabetes yang sesuai dengan definisi dari Konsensus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) tahun 2011 pada penduduk Indonesia yang berusia ≥ 15 tahun meningkat dari 6,9% di tahun 2013 menjadi 8,3% di tahun 2018. Bahkan jika menggunakan definisi diabetes dari Perkeni tahun 2015 maka angka kejadian diabetes tahun 2018 pada penduduk Indonesia ≥ 15 tahun adalah 10,9%.

Diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai penyakit metabolisme dengan karakteristik kadar gula tinggi pada darah karena kelainan sekresi dan/atau kerja insulin (Perkeni, 2019).

Diabetes melitus sendiri dibagi menjadi 2 tipe: diabetes melitus tipe 1 yang biasa terjadi pada anak-anak akibat kelainan produksi insulin dan diabetes melitus tipe 2 yang biasa terjadi pada orang dewasa akibat kelainan kerja insulin.  Artikel ini akan lebih terfokuskan membahas DM tipe 2.

Penyakit ini bukan hanya sekadar peningkatan kadar gula di dalam darah, melainkan juga meningkatkan risiko terjadinya banyak penyakit lain seperti:

1. Retinopati diabetik

Kerusakan retina mata akibat gula darah tinggi dan dapat menyebabkan kebutaan.

2. Nefropati diabetik

Gagal ginjal akibat diabetes dan merupakan penyebab utama gagal ginjal stadium akhir (Perkeni, 2019).

3. Kaki diabetik

jika kaki mengalami luka, sering tidak terasa sakit (karena ada masalah di sarafnya) dan jika kaki mengalami luka maka, lebih sulit untuk sembuh

4. Penyakit-penyakit akibat infeksi

Diabetes melitus meningkatkan risiko terkena penyakit-penyakit akibat infeksi seperti tuberkulosis, infeksi saluran kemih (ISK), infeksi saluran pernapasan, infeksi saluran pencernaan, infeksi jaringan lunak dan kulit, serta infeksi jaringan rongga mulut. Hal ini disebabkan karena darah penderita diabetes mengandung gula yang lebih tinggi sehingga makin bagus untuk pertumbuhan bakteri dan menurunkan sistem kekebalan tubuh (Perkeni, 2019).

Diabetes adalah penyakit tidak menular (PTM) yang dapat dicegah. Pencegahan paling efektif dari diabetes melitus tipe 2 adalah dengan menghindari faktor risiko yang dapat diubah seperti:

  1. Berat badan berlebih (indeks massa tubuh ≥ 23 kg/m2)
  2. Aktivitas fisik yang kurang
  3. Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)
  4. Kadar kolesterol tinggi dalam darah [HDL (kolesterol baik) kurang dari 35 mg/dL dan/atau trigliserida lebih dari 250 mg/dL]
  5. Pola makan tidak sehat yaitu banyak mengonsumsi glukosa dan rendah serat. Contoh: minuman dengan banyak pemanis dan nasi dengan porsi berlebihan.

Mari kita mencegah terkena diabetes dengan menjaga agar berat badan tidak berlebih, memperbanyak aktivitas fisik, mengendalikan tekanan darah serta kadar kolesterol untuk tetap normal, membatasi konsumsi gula tidak lebih 4 sendok makan per hari, dan memperbanyak konsumsi makanan yang mengandung serat. Bagi yang sudah mendapat diagnosis diabetes harus rutin kontrol dan mengikuti semua saran dokter untuk mencegah komplikasi yang lebih parah.

 

Daftar Pustaka

  • International Diabetes Federation. (2019) IDF Diabetes Atlas, 9th edn. https://www.diabetesatlas.org diakses 13 November 2020
  • Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Hasil Utama Riskesdas Tahun 2018. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-riskesdas-2018_1274.pdf diakses 13 November 2020
  • Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. (2019). Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa di Indonesia. Jakarta: PB PERKENI https://pbperkeni.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Pedoman-Pengelolaan-DM-Tipe-2-Dewasa-di-Indonesia-eBook-PDF-1.pdf diakses 13 November 2020

Hari Kesehatan Nasional – Satukan Tekad untuk Indonesia Sehat

Berita TerbaruUmum Thursday, 12 November 2020

Setiap tanggal 12 November diperingati sebagai Hari Kesehatan Nasional. Peringatan Hari Kesehatan Nasional ini pertama kali dilakukan pada tahun 1959 dengan aksi penyemprotan nyamuk malaria yang dilakukan secara simbolis oleh Presiden Soekarno. Tahun ini Kementerian Kesehatan mengangkat tema pada perayaan Hari Kesehatan Nasional ke-56 dengan slogan “Satukan tekad untuk Indonesia sehat”.

Sehat dimulai dari diri sendiri. Gaya hidup yang sehat sangat berpengaruh dalam kesehatan kita. Kementerian Kesehatan telah mengembangkan panduan gaya hidup sehat yang bertujuan untuk mencegah penyakit tidak menular. Panduan ini diringkas dalam slogan CERDIK.

  1. Cek kesehatan secara berkala

Masyarakat yang menyandang diabetes, hipertensi, dan/atau kolesterol tinggi harus rutin kontrol ke dokter dan berobat untuk mencegah komplikasi penyakit yang lebih parah.

  1. Enyahkan asap rokok

Masyarakat sangat dianjurkan untuk tidak menjadi perokok aktif dan menghindari paparan asap rokok orang lain.

  1. Rajin aktivitas fisik/olahraga

Masyarakat disarankan berolahraga 30 menit dalam sehari dengan frekuensi 3-5 kali dalam setiap pekan.

  1. Diet sehat dan seimbang

Masyarakat disarankan membatasi konsumsi garam tidak lebih dari 1 sendok teh, gula tidak lebih dari 4 sendok makan, dan lemak/minyak tidak lebih dari 5 sendok makan per hari per orang. Keterangan: 1 sendok teh adalah 5 mililiter. 1 sendok makan adalah 15 mililiter.

  1. Istirahat cukup

Masyarakat dewasa dianjurkan untuk tidur dengan durasi yang cukup, yaitu 7-8 jam per hari.

  1. Kelola stres

Masyarakat dapat mengelola stres dengan memperbanyak relaksasi, rekreasi, bercengkerama dengan orang lain, dan berpikiran positif.

 

Daftar Pustaka

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Buku Panduan HKN Ke-56. Jakarta: Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat https://promkes.kemkes.go.id/download/etbj/files50921Buku%20Panduan%20HKN-56-Pusat%20(lanscape).pdf diakses 10 November 2020

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). CERDIK, Rahasia Masa Muda Sehat dan Masa Tua Nikmat! Jakarta: Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat https://promkes.kemkes.go.id/cerdik-rahasia-masa-muda-sehat-dan-masa-tua-nikmat diakses 10 November 2020

Mengenal Jenis Tes Covid-19 – Swab PCR

Berita TerbaruCOVID-19Tenaga MedisUmum Sunday, 8 November 2020

COVID-19 adalah penyakit baru bagi manusia; sesuai dengan namanya Corona Virus Disease (yang baru ditemukan pada tahun) 2019. Tidak ada gejala-gejala yang benar-benar spesifik untuk menegakkan diagnosis terkonfirmasi penyakit ini. Gejalanya mirip dengan beberapa penyakit lain.

Satu-satunya cara dan yang sejauh ini menjadi baku emas pemeriksaan untuk mendiagnosis terkonfirmasi seseorang positif terinfeksi COVID-19 atau negatif adalah swab PCR (Polymerase Chain Reaction).

Beberapa alat tes lain sedang diteliti untuk membantu penegakan diagnosis COVID-19 tapi sejauh ini belum ada yang seakurat
swab PCR.

Sejauh ini memang pemeriksaan swab PCR yang digunakan untuk diagnosis COVID-19 lebih mahal dibandingkan dengan pemeriksaan yang lain. Namun, sejak 5 Oktober 2020 pemerintah sudah menetapkan harga maksimal untuk pemeriksaan swab PCR COVID-19 atas permintaan sendiri dari pasien sebesar Rp900.000.

Sampel yang digunakan untuk pemeriksaan tes ini adalah hasil swab atau usapan nasofaring (tenggorokan yang setinggi hidung) atau orofaring (tenggorokan setinggi lidah). Tes ini dapat mendeteksi ada tidaknya materi genetik SARS-CoV-2 pada sampel.

Tes ini adalah metode paling akurat untuk diagnosis COVID-19 karena yang dideteksi adalah langsung virus itu sendiri melalui deteksi materi genetiknya. Setiap makhluk hidup dan virus memiliki materi genetik yang unik dan berbeda dengan yang lain. PCR adalah tes untuk mendeteksi ditemukan atau tidak materi genetik tertentu dalam sebuah sampel yang nanti bisa disimpulkan bahwa ditemukan atau tidak virus tertentu pada sampel tersebut. Oleh karena itu, PCR ini bisa disesuaikan untuk mendeteksi penyakit tertentu, tidak hanya COVID-19. Jika ingin menggunakan PCR untuk mendeteksi ada tidaknya SARS-CoV-2 (virus penyebab COVID-19) pada sebuah sampel, maka tinggal disesuaikan PCR ini untuk mendeteksi materi genetik yang unik dari SARS-CoV-2.

Tinjauan sistematis dengan meta-analisis (hal ini adalah bukti paling terpercaya dalam kedokteran berbasis bukti) yang dilakukan oleh Böger dkk. (2020) menunjukkan bahwa sejauh ini tingkat sensitivitas swab PCR adalah 97,2%. Hal ini berarti bahwa dari 1000 orang yang benar-benar sakit COVID-19, terdapat 972 yang terdeteksi positif dengan swab PCR.

Adapun tingkat spesifisitas yang bertujuan untuk mengetahui banyaknya orang yang tidak sakit COVID-19 menunjukkan hasil negatif dengan swab PCR tidak mencapai 100% karena kriteria sembuh dari COVID-19 menurut pedoman terbaru sudah tidak menggunakan negatif swab PCR sebagai acuan.

Orang yang terinfeksi COVID-19 dapat menunjukkan gejala berat, sedang, ringan, bahkan tanpa gejala. Dokter akan menyarankan pemeriksaan swab PCR COVID-19 untuk orang dengan gejala dan riwayat mengarah ke COVID-19. Apabila swab PCR COVID-19 menunjukkan hasil positif, orang tersebut harus menjalani isolasi walaupun tidak ada gejala sama sekali. Tujuannya adalah supaya orang tersebut itu tidak menularkan virus kepada orang lain. Apabila orang tersebut bergejala maka harus dirawat sesuai dengan gejalanya hingga sembuh.

Dahulu saat COVID-19 baru ditemukan dan penelitian terkait dengan penyakit ini masih terbatas, rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO/World Health Organization) bertanggal 12 Januari 2020 adalah orang baru dinyatakan sembuh dari COVID-19 setelah mendapat hasil negatif dua kali dari swab PCR COVID-19 yang dua pemeriksaan ini dilakukan dengan jarak lebih dari 24 jam. Setelah berkembangnya penelitian terkait dengan COVID-19, ditemukan bahwa setelah 10 hari, sisa-sisa virus penyebab COVID-19 (SARS-CoV-2) yang masih ditemukan di saluran pernapasan (masih akan positif jika dites menggunakan swab PCR) tidak dapat dikultur (Bullard dkk., 2020; CDC, 2020). Artinya, sisa-sisa virus ini masih ada tapi sudah tidak bisa memperbanyak diri lagi sehingga tidak bisa menularkan kepada orang lain.

Oleh karena itu, WHO pada 17 Juni 2020 menerbitkan rekomendasi baru menggantikan rekomendasi sebelumnya. Rekomendasi ini sudah diadopsi di Indonesia melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 yang ditandatangani pada 13 Juli 2020. Rekomendasi terbaru tersebut adalah orang yang terkonfirmasi positif COVID-19 melalui PCR namun tidak menunjukkan gejala sama sekali, cukup melakukan isolasi mandiri selama 10 hari terhitung dari hari dilakukannya tes yang menunjukkan positif. Setelah isolasi mandiri 10 hari, tidak perlu dilakukan swab PCR lagi untuk dinyatakan sembuh. Orang yang terkonfirmasi positif COVID-19 melalui PCR dan bergejala harus melakukan isolasi selama
10 hari terhitung dari hari dilakukannya tes dan ditambah 3 hari bebas gejala.

Sebagai contoh untuk memperjelas, pasien COVID-19 yang hilang gejalanya di hari ketiga maka selesai isolasinya tetap setelah 10 hari dari dilakukan tes. Adapun pasien COVID-19 yang hilang gejalanya di hari kesembilan maka isolasinya baru selesai setelah 12 hari (9+3), sedangkan pasien COVID-19 yang gejalanya baru hilang di hari ke-15, isolasinya baru selesai setelah 18 hari (15+3). Keputusan terkait dengan lama isolasi diputuskan oleh dokter penanggung jawab pasien (DPJP).

Daftar Pustaka

  • https://www.who.int/news-room/commentaries/detail/criteria-for-releasing-covid-19-patients-from-isolation diakses pada 7 Oktober 2020
  • https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/hcp/duration-isolation.html diakses 7 Oktober
    2020
  • Böger, Beatriz et al. “Systematic review with meta-analysis of the accuracy of diagnostic tests for COVID-19.” American journal of infection control, S0196-6553(20)30693-3. 10 Jul. 2020, doi:10.1016/j.ajic.2020.07.011
  • Bullard J, Dusk K, Funk D, et al. Predicting infectious SARS-CoV-2 from diagnostic samples, Clin Infect Dis. 2020 doi:10.1093/cid/ciaa638.
  • Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) https://covid19.go.id/storage/app/media/Regulasi/KMK%20No.%20HK.01.07-MENKES-413-2020%20ttg%20Pedoman%20Pencegahan%20dan%20Pengendalian%20COVID-19.pdf
  • Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Nomor HK.02.02/I/3713/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Real Time Polymerase Chain Reaction

Mengenal Jenis Tes Covid-19 – Rapid Test Antigen

Berita TerbaruCOVID-19Tenaga MedisUmum Saturday, 7 November 2020

Pemeriksaan untuk mendiagnosis seseorang apakah positif terinfeksi COVID-19 atau negatif sejauh ini baku emasnya adalah swab PCR (Polymerase Chain Reaction). Namun, pemeriksaan ini membutuhkan waktu hitungan jam bahkan hari (jika terjadi antrian dalam pengetesan) dan biaya yang relatif mahal. Oleh karena itu, penelitian mencari tes yang lebih cepat dan murah terus dilakukan dan sejauh ini sudah ada rapid test sebagai tes yang lebih cepat dan murah daripada PCR walaupun memang harus diakui tidak seakurat PCR.

Rapid test yang ada di beredar di sekitar kita sebenarnya ada dua macam. Selain tes pendeteksi antibodi yang sudah dibahas di serial artikel sebelumnya, juga ada tes pendeteksi antigen atau protein yang membentuk badan SARS-CoV-2 (virus penyebab COVID-19). Sampel yang digunakan untuk pemeriksaan tes ini adalah hasil swab atau usapan nasofaring (tenggorokan yang setinggi hidung), orofaring (tenggorokan setinggi lidah), atau bisa juga air liur. Tes ini dapat mendeteksi ada atau tidaknya antigen SARS-CoV-2 dalam waktu beberapa menit. Metode rapid test ini memang lebih akurat dari rapid test antibodi terutama untuk mendeteksi orang yang baru terinfeksi COVID-19 dalam waktu kurang dari 1 pekan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO/World Health Organization) mencatat dari 10 penelitian yang mengukur sensitivitas dan spesifitas berbagai merek rapid test antigen bahwa sensitivitas rapid test antigen beragam dari 0% hingga 94%. Misal kita mengambil 94% maka artinya dari 100 pasien yang dinyatakan positif oleh pemeriksaan baku emas yaitu swab PCR, ada 94 yang mendapat hasil reaktif pada rapid test antigen. Setelah ditelusuri, ternyata kelompok pasien yang dinyatakan positif oleh swab PCR dan reaktif pada rapid test antigen secara rata-rata miliki kadar virus dalam tubuh lebih tinggi daripada kelompok pasien yang dinyatakan positif oleh PCR namun nonreaktif pada rapid test antigen.

Dapat disimpulkan bahwa rapid test antigen ini baru akurat mendeteksi pasien COVID-19 yang kadar virus dalam tubuhnya tinggi tapi kurang akurat mendeteksi pasien COVID-19 yang kadar virusnya rendah.

Kabar baiknya, dari 10 penelitian tersebut, rapid test antigen konsisten dilaporkan memiliki spesifitas di atas 97% bahkan ada yang 100%. Jika kita mengambil 97% maka artinya dari 100 orang yang benar-benar negatif COVID-19 (biasanya diidentifikasi dengan baku emas), ada 97 yang menunjukkan hasil nonreaktif pada rapid test antigen.

Berdasarkan nilai sensitivitas dan spesifitas beberapa rapid test antigen yang beragam, WHO pada panduannya yang diterbitkan pada 11 September 2020 merekomendasikan penggunaan rapid test antigen yang memiliki sensitivitas ≥ 80% dan spesifitas ≥ 97% untuk penegakkan diagnosis COVID-19 dalam keadaan terbatasnya pemeriksaan swab PCR.

 

Daftar Pustaka

  • https://www.who.int/publications/i/item/antigen-detection-in-the-diagnosis-of-sars-cov-
    2infection-using-rapid-immunoassays diakses pada 5 Oktober 2020

Mengenal Jenis Tes Covid-19 – Rapid Test Antibodi

Berita TerbaruCOVID-19Umum Friday, 6 November 2020

Gejala COVID-19 mirip dengan penyakit-penyakit pernapasan lain yang sudah biasa kita temukan, misalnya batuk-pilek dan influenza. Namun, penyebabnya berbeda dengan penyakit-penyakit biasa ditambah dengan penyebarannya yang sangat cepat. Oleh karena gejalanya yang tidak spesifik, pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan untuk memastikan penyakit ini COVID-19 atau bukan.

Saat ini beredar beberapa alat tes untuk mendeteksi COVID-19, namun penggunaan dan hasilnya tidak sama. Dalam serial artikel ini, kita akan membahas rapid test.

Rapid test artinya adalah tes cepat. Sesuai dengan namanya, hasil dari tes ini memang dapat diketahui secara cepat, yaitu dalam hitungan menit. Saat ini, rapid test adalah pemeriksaan laboratorium yang relatif paling terjangkau. Pemerintah sudah menerapkan biaya paling mahal untuk rapid test adalah Rp150.000.

Sebenarnya, ada dua macam rapid test, yaitu tes yang mendeteksi antigen dan tes yang mendeteksi antibodi. Rapid test yang beredar secara umum adalah yang mendeteksi antibodi, yaitu IgG (immunoglobulin G) dan IgM (immunoglobulin M) spesifik untuk antigen SARS-CoV-2 (virus penyebab COVID-19), yang diproduksi oleh sel B dalam plasma darah bila virus masuk ke dalam tubuh. Pada serial artikel ini kita akan membahas rapid test antibodi, sedangkan rapid test antigen akan dibahas di serial artikel selanjutnya.

Sampel yang digunakan dalam pemeriksaan rapid test antibodi adalah darah pasien. Beberapa tetes darah yang diambil dari tusukan ujung jari pasien sudah cukup untuk pemeriksaan ini. Hasil dari rapid test antibodi adalah reaktif atau nonreaktif.
Rapid test antibodi nonreaktif pada seseorang tidak menyingkirkan kemungkinan terinfeksi COVID-19 pada orang tersebut. Bisa saja orang tersebut sudah terinfeksi COVID-19, namun antibodi terhadap virus tersebut belum terbentuk karena beberapa penyebab. Antibodi baru terbentuk sekitar satu pekan setelah tubuh terpapar virus (Sethuraman, Jeremiah, dan Ryo, 2020) .

Jika seseorang sudah terinfeksi COVID-19 dalam waktu kurang dari satu pekan, maka kemungkinan besar hasil rapid test antibodi akan nonreaktif karena antibodi pada orang tersebut belum terbentuk. Orang dengan gangguan sistem imun juga bisa saja sudah terinfeksi, namun rapid test antibodi menunjukkan hasil nonreaktif akibat adanya gangguan untuk terbentuknya antibodi dalam tubuhnya. Orang dengan gangguan sistem imun yang sistem imun adaptifnya menjadi lebih lemah juga bisa saja sudah terinfeksi, namun rapid test antibodi menunjukkan hasil nonreaktif akibat adanya gangguan untuk terbentuknya antibodi dalam tubuhnya.

Jika hasil rapid test antibodi reaktif, maka belum tentu orang tersebut sedang terinfeksi COVID-19. Antibodi yang terdeteksi pada rapid test antibodi mungkin saja ternyata antibodi terhadap virus lain atau virus corona jenis lain, bukan SARS-CoV-2 atau yang menyebabkan COVID-19. Hal ini dikenal dengan istilah cross-reactivity phenomenon atau fenomema reaktif silang (Meschi dkk., 2020) .

Bisa juga karena infeksi virus tersebut sudah sembuh, namun antibodi sebagai kekebalan terhadap virus tersebut menetap di tubuh dalam waktu yang lama (Hoffman dkk., 2020) .

Oleh karena itu, apabila rapid test menunjukkan hasil reaktif maka perlu pemeriksaan lanjutan yang bisa menegakkan diagnosis, yaitu swab PCR (Polymerase Chain Reaction) karena hanya dengan pemeriksaan ini bisa dipastikan seseorang positif terinfeksi COVID-19 atau negatif. Pemeriksaan ini bisa mendeteksi langsung keberadaan SARS-CoV-2, bukan melalui ada tidaknya antibodi terhadap virus ini. Detail mengenai pemeriksaan ini akan dibahas di serial selanjutnya dari artikel ini.

Rapid test antibodi bukan tes untuk menegakkan diagnosis COVID-19 karena keakuratannya masih perlu diteliti lebih lanjut. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO/World Health Organization) tidak merekomendasikan tes ini sebagai diagnosis dasar untuk merawat pasien, tetapi mengajurkan dilanjutkannya tes ini sebagai penelitian epidemiologis dan surveilans penyakit.

 

Daftar Pustaka

  • Hoffman, T. et al. (2020) ‘Evaluation of a COVID-19 IgM and IgG rapid test; an efficient tool for assessment of past exposure to SARS-CoV-2’, Infection Ecology and Epidemiology. Taylor and Francis Ltd., 10(1). doi: 10.1080/20008686.2020.1754538.
  • Meschi, S. et al. (2020) ‘Performance evaluation of Abbott ARCHITECT SARS-CoV-2 IgG immunoassay in comparison with indirect immunofluorescence and virus microneutralization test’, Journal of Clinical Virology. Elsevier B.V., 129. doi: 10.1016/j.jcv.2020.104539.
  • Sethuraman, N., Jeremiah, S. S. and Ryo, A. (2020) ‘Interpreting Diagnostic Tests for SARS-CoV-2’, JAMA – Journal of the American Medical Association. American Medical Association, pp. 2249–2251. doi: 10.1001/jama.2020.8259. https://www.who.int/docs/default-source/searo/indonesia/covid19/saran-penggunaan-tes-imunodiagnostik-di-fasyankes-(point-of-care)-untuk-COVID-19.pdf diakses pada 30 September 2020
  • Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Test Antibodi https://covid19.go.id/storage/app/media/Regulasi/SE%20Batasan%20Tarif%20Tertinggi%20
    pemeriksaan%20rapidtest%20antibodi.pdf

Protokol VDJ di Masa Pandemi Covid-19

Berita TerbaruCOVID-19Umum Friday, 16 October 2020

Pencegahan Covid-19 yang paling efektif selama belum ditemukan vaksin adalah menghindari bertemu orang lain. Sayangnya, kadang-kadang ada aktivitas-aktivitas ekonomi yang mengharuskan seseorang untuk tetap bertemu dengan orang lain. Oleh karena itu, jika aktivitas yang mengharuskan pertemuan manusia dengan manusia tidak dapat terhindarkan, maka protokol VDJ (Ventilasi, Durasi, Jarak) perlu dipraktikkan untuk mengurangi risiko penyebaran Covid-19.

Bagaimana protokol ventilasi durasi jarak, apa saja yang harus dihindari untuk mencegah penyebaran Covid-19?

  1. Berada bersama orang lain di ruangan tertutup (Ventilasi)

Aliran udara memiliki peran dalam penyebaran Covid-19. Ruangan yang sirkulasi udaranya hanya berputar-putar di dalam ruangan dan sedikit bercampur dengan udara luar mempertinggi risiko penularan Covid-19 karena droplet yang disebarkan orang di dalam ruangan akan menyebar luas di ruangan tersebut. Park dkk. (2020) di Korea Selatan melaporkan bahwa ditemukan 97 pegawai call center yang bekerja di ruangan yang sama tertular Covid-19. Pegawai di lantai dan ruangan lain tidak tertular. Setelah ditelusuri, ternyata ruangan yang digunakan tidak memiliki aliran udara dari dan ke luar ruangan yang menyebabkan virus menyebar di ruangan tersebut dan tidak keluar. Nishiura dkk. (2020) berpendapat bahwa risiko tertular Covid-19 di ruangan tertutup dengan ventilasi dan sirkulasi udara yang buruk (udara di ruangan tersebut hanya berputar di ruangan itu saja) sebesar 18,7 kali lipat lebih tinggi daripada di ruang terbuka.

  1. Tatap muka dengan orang lain dalam waktu lama (Durasi)

Semakin lama durasi bertemu dengan orang lain, risiko tertular Covid-19 dari orang tersebut semakin tinggi. Jumlah virus yang dilepaskan saat berbicara selama lima menit setara dengan satu kali batuk/bersin (Parshina-Kottas dkk., 2020).

  1. Interaksi jarak dekat dengan orang lain (Jarak)

Ketika bertemu tatap muka dengan orang lain, kita perlu menjaga jarak fisik dan menghindari kerumunan. Saat batuk atau bersin otomatis kita menyemburkan droplet yang mengandung virus ke sejauh 1-2 meter di sekitar kita (Parshina-Kottas dkk., 2020). Menurut Sun dan Zhai (2020), jarak minimal yang aman untuk beraktivitas sosial biasa, seperti bernapas dan berbicara, adalah 1,6 – 3 meter. Semakin besar jaraknya maka makin sedikit risiko penyebarannya.

Kesimpulan
Protokol ventilasi, durasi, jarak ini dilakukan ketika berinteraksi dengan orang lain tidak dapat dihindari. Semakin banyak poin dalam protokol yang dipatuhi, semakin kecil risiko tertular Covid-19. Begitu juga sebaliknya, apabila semua protokol VDJ ini dilanggar, maka risiko tertular Covid-19 semakin besar. Protokol VDJ bukan satu-satunya cara mencegah penyebaran Covid-19. Masyarakat juga tetap harus membiasakan 3M (menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak) terlebih jika harus beraktivitas di tempat yang belum memungkinkan menerapkan protocol VDJ secara optimal.

Daftar Pustaka

  • Nishiura, H. et al. (2020) ‘Closed environments facilitate secondary transmission of coronavirus disease 2019 (COVID-19)’, medRxiv. Cold Spring Harbor Laboratory Press, p. 2020.02.28.20029272. doi: 10.1101/2020.02.28.20029272.
  • Park SY, Kim YM, Yi S, Lee S, Na BJ, Kim CB, Kim JI, Kim HS, Kim YB, Park Y, Huh IS, Kim HK, Yoon HJ, Jang H, Kim K, Chang Y, Kim I, Lee H, Gwack J, Kim SS, Kim M, Kweon S, Choe YJ, Park O, Park YJ, Jeong EK. Coronavirus Disease Outbreak in Call Center, South Korea. Emerg Infect Dis. 2020 Aug;26(8):1666-1670. doi: 10.3201/eid2608.201274. Epub 2020 Apr 23. PMID: 32324530; PMCID: PMC7392450.
  • Parshina-Cottas, Y., Saget, B., Patanjali, K., Fleisher, O., dan Gianordoli, G. (2020) This 3-D Simulation Shows Why Social Distancing Is So Important. https://www.nytimes.com/interactive/2020/04/14/science/coronavirus-transmission-cough-6-feet-ar-ul.html diakses pada 18 September 2020
  • Sun C, Zhai Z. The efficacy of social distance and ventilation effectiveness in preventing COVID-19 transmission. Sustain Cities Soc. 2020 Nov;62:102390. doi: 10.1016/j.scs.2020.102390. Epub 2020 Jul 13. PMID: 32834937; PMCID: PMC7357531.

Mengapa harus menggunakan masker?

AktivitasBerita TerbaruCOVID-19Umum Wednesday, 14 October 2020

“Mengapa kita harus menggunakan masker padahal kita merasa sehat-sehat saja?”

  • Tidak ada yang tahu secara pasti kondisi dirinya

Pada prinsipnya, kita tidak bisa memastikan diri kita terinfeksi atau tidak kecuali dengan tes lab. Bisa jadi kita tidak merasakan gejala sama sekali, namun ternyata kita sudah terinfeksi dan dapat menularkan ke orang lain tanpa kita sadari. Menurut WHO, sebanyak 80% orang yang terinfeksi Covid-19 tidak bergejala atau bergejala ringan. Oleh karena itu, menggunakan masker adalah hal yang sangat bijak. Tentu amat bijak bila kita – yang tidak tahu secara pasti kita sehat atau terinfeksi – menggunakan masker, sehingga tidak menularkan ke orang lain. Amat bijak juga bila kita menggunakan masker sehingga mengurangi kemungkinan terinfeksi dari orang lain, yang kita anggap sehat-sehat saja, yang ternyata bisa jadi orang tersebut terinfeksi tanpa gejala dan bisa menularkan.

  • Mencegah penyebaran virus melalui droplet

Seperti yang kita tahu, virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 dinyatakan dapat menyebar melalui cairan droplet atau percikan cairan orang sakit dari batuk, bersin, dan bahkan saat berbicara. Saat jatuh pada permukaan benda, cairan ini dapat bertahan cukup lama.

Menggunakan masker mencegah masuknya droplet dari luar ke dalam saluran pernapasan, karena udara yang dihirup akan disaring terlebih dahulu. Karena droplet tidak masuk ke dalam tubuh, maka risiko terinfeksi Covid-19 akan berkurang. Karena kita juga tidak tahu secara pasti kita sehat atau ternyata sudah terinfeksi dan bisa menularkan ke orang lain, menggunakan masker mencegah keluarnya droplet dari tubuh kita ke lingkungan sekitar karena droplet akan tertahan oleh masker. Oleh karena itu, menggunakan masker mengurangi potensi menularkan Covid-19 ke orang lain.

Kesimpulan
Masker mengurangi penyebaran virus penyebab Covid-19. Jika kita menggunakan masker, maka kita melindungi diri kita sendiri maupun orang lain. Namun, kita harus ingat bahwa menggunakan masker hanya salah satu protokol kesehatan yang harus kita ikuti di antara beberapa protokol kesehatan lain. Jangan lupa untuk juga tetap menjaga jarak serta mencuci
tangan dengan air mengalir dan sabun.

Daftar Pustaka
https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/situation-reports/20200306-sitrep-46-covid-19.pdf diakses pada 2 September 2020

Mengenal Jenis-Jenis Masker

Berita TerbaruCOVID-19Umum Monday, 14 September 2020

Pemerintah mewajibkan seluruh masyarakat untuk menggunakan masker selama beraktivitas di luar rumah. Namun, jenis masker apakah yang harus kita gunakan? Apakah masker yang biasa kita gunakan sudah cocok dengan kita dan sudah efektif? Mari kita mengenal jenis-jenis masker.

1. Masker kain

Masker kain adalah masker yang dianjurkan pemerintah untuk digunakan oleh masyarakat umum. Masker kain yang direkomendasikan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO/World Health Organization) bukan sembarang satu lapis kain yang dijadikan masker melainkan masker yang tersusun oleh tiga lapisan sebagai berikut:

  1. Lapisan paling dalam yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap air (seperti katun atau campuran katun);
  2. Lapisan tengah kedap air yang terbuat dari bahan tanpa tenun sintetis seperti polipropilena atau lapisan katun yang dapat meningkatkan penyaringan atau menahan droplet (percikan cairan yang keluar saat batuk atau bersin).
  3. Lapisan terluar yang terbuat dari bahan kedap air (seperti polipropilena, poliester, atau campuran keduanya) yang dapat membatasi kontaminasi dari luar yang menembus ke dalam hidung dan mulut pemakai

Apabila bahan dan jumlah lapisan tepat sesuai dengan rekomendasi, masker kain ini dapat menyaring udara sebesar 60%. Karena kemampuan menyaringnya tidak sebaik masker bedah apalagi N95, penggunaan masker ini hanya untuk masyarakat umum yang sehat dan bukan untuk tenaga medis yang sering bertemu dengan orang sakit. Masyarakat umum yang menggunakan masker kain ini juga harus mengombinasikan penggunaan masker ini dengan menjaga jarak serta mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun.

Kelebihan masker kain ini dibandingkan dengan jenis masker yang lain adalah masker ini dapat dicuci kemudian dapat digunakan kembali. Masker kain dapat digunakan selama 3-4 jam kemudian harus dicuci. Pencucian masker ini menggunakan air hangat dan deterjen.

2. Masker bedah

Masker bedah diprioritaskan untuk digunakan oleh orang sakit dan tenaga medis. Tenaga medis walaupun sehat-sehat saja diprioritaskan untuk menggunakan masker bedah karena sering terpapar dari pasien. Masker bedah ini memiliki kemampuan menyaring udara lebih baik daripada masker kain. Namun, masker ini tidak bisa dicuci untuk digunakan kembali.
Apabila sudah basah atau kotor, maka harus dibuang dan lebih baik disobek terlebih dahulu agar tidak ada yang menggunakan kembali.

3. Masker N95

Masker N95, sesuai dengan namanya, menyaring udara sebesar 95%. Masker ini digunakan oleh tenaga medis yang melakukan tindakan berisiko tinggi untuk tertular virus, seperti memasang alat bantu napas pada pasien Covid-19 yang mengalami gagal napas. Masker ini harganya lebih mahal dibandingkan dengan jenis masker yang lain.

Daftar Pustaka

  • www.who.int/docs/default-source/searo/indonesia/covid19/anjuran-mengenai-penggunaan-masker-dalam-konteks-covid-19-june-20.pdf diakses pada 3 September 2020
  • Chua MH, Cheng W, Goh SS, et al. Face Masks in the New COVID-19 Normal: Materials, Testing, and Perspectives. Research (Wash D C). 2020;2020:7286735. Published 2020 Aug7. doi:10.34133/2020/7286735

Bagaimana Cara Menggunakan Masker yang Benar?

Berita TerbaruUmum Thursday, 10 September 2020

Belum semua masyarakat mengetahui cara menggunakan masker yang benar. Sebagai contoh, masih ditemukan masyarakat yang menyentuh bagian luar dan dalam masker saat menggunakan dan melepas masker. Hal ini kurang tepat karena bagian tersebut kemungkinan besar sudah terkontaminasi oleh droplet yang bisa menyebarkan virus. Apabila disentuh oleh tangan, maka tangan dapat menyebarkan droplet tersebut ke berbagai tempat/bagian tubuh.

Yuk, kita belajar tentang cara menggunakan masker yang benar.

Cara penggunaan:

  1. Pastikan masker yang digunakan masih bersih, steril, tidak berlubang, dan tidak robek
  2. Satu masker hanya boleh digunakan oleh satu orang lain. Tidak boleh ada pertukaran masker
  3. Sebelum menggunakan masker, bersihkan tangan terlebih dahulu. Jika memungkinkan, lebih baik cuci tangan menggunakan air mengalir dan sabun secara 6 langkah. Jika keadaan tidak memungkinkan, maka gunakan hand sanitizer
  4. Pastikan bagian depan masker menghadap keluar dan tidak terbalik
  5. Memasang masker menggunakan tali atau ikatan yang ada pada masker
  6. Hindari memegang bagian luar dan dalam masker
  7. Setelah masker dipasang, gunakan ujung jari untuk menjepit ujung atas masker yang bisa ditekuk
  8. Pastikan masker menutupi seluruh hidung dan mulut, sehingga ujung bawah masker berada di bawah dagu
  9. Masker kain maksimal digunakan selama 3-4 jam. Jika sudah lebih dari itu atau terasa basah, segera ganti masker kain tersebut dan dicuci.
  10. Masker medis hanya digunakan sekali pakai

Hal-hal yang perlu diperhatikan selama menggunakan masker:

  1. Jangan menaruh masker di leher walaupun hanya ingin sementara melepaskan masker. Menaruh masker di leher akan menyebarkan kontaminasi infeksi dari masker ke leher
  2. Hindari menyentuh wajah dan masker
  3. Apabila tangan menyentuh wajah dan masker, baik sengaja maupun tidak, segera mencuci tangan

Cara melepas masker:

  1. Hindari menyentuh bagian dalam maupun luar masker karena bagian tersebut kemungkinan besar sudah terkontaminasi oleh bersin dan batuk Anda. Jika menyentuhnya, segeralah mencuci tangan
  2. Lepas masker dengan memegang bagian tali secara perlahan
  3. Cuci tangan setelah melepas masker

Cara mencuci masker:

  1. Masker yang boleh dicuci adalah masker kain. Adapun masker medis hanya dapat digunakan sekali pakai dan tidak untuk dicuci kemudian dipakai kembali.
  2. Masker kain yang sudah digunakan selama 3-4 jam dicuci menggunakan air hangat dan deterjen. Air hangat dan deterjen dapat membunuh virus penyebab Covid-19.
  3. Jika ada mesin cuci, lebih baik dicuci menggunakan mesin cuci karena mesin cuci dapat membersihkan masker lebih bersih.

Daftar Pustaka

  • https://www.who.int/docs/default-source/searo/indonesia/covid19/anjuran-mengenai-penggunaan-masker-dalam-konteks-covid-19-june-20.pdf diakses pada 2 September 2020
123

Berita Terakhir

  • Pelatihan Peningkatan Keterampilan Komunikasi Kader Posbindu Penyakit Tidak Menular (PTM) Kelurahan Tegalrejo
  • Pelatihan Peningkatan Kapasitas Kader Kesehatan Jiwa dalam Upaya Mencapai Ketangguhan Jiwa
  • Strategi Percepatan Vaksinasi COVID-19
  • PENCAPAIAN PENURUNAN PREVALENSI PEROKOK ANAK PADA TARGET RPJMN 2024
  • Fenomena Iklan Rokok di Media Sosial. Bagaimana Pengaruhnya?
Universitas Gadjah Mada

PUSAT PERILAKU DAN PROMOSI KESEHATAN

FK-KMK UGM

Gedung Penelitian dan Pengembangan FK-KMK UGM Lantai 3
Jalan Medika No. 1, Sekip Utara  Yogyakarta, Indonesia, 55581

Email: chbp@ugm.ac.id

Website: chbp.fk.ugm.ac.id

Instagram: chbp_fkkmk

Telp: 0813 2904 0840

 

© Faculty of Medicine, Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY