Gejala COVID-19 mirip dengan penyakit-penyakit pernapasan lain yang sudah biasa kita temukan, misalnya batuk-pilek dan influenza. Namun, penyebabnya berbeda dengan penyakit-penyakit biasa ditambah dengan penyebarannya yang sangat cepat. Oleh karena gejalanya yang tidak spesifik, pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan untuk memastikan penyakit ini COVID-19 atau bukan.
Saat ini beredar beberapa alat tes untuk mendeteksi COVID-19, namun penggunaan dan hasilnya tidak sama. Dalam serial artikel ini, kita akan membahas rapid test.
Rapid test artinya adalah tes cepat. Sesuai dengan namanya, hasil dari tes ini memang dapat diketahui secara cepat, yaitu dalam hitungan menit. Saat ini, rapid test adalah pemeriksaan laboratorium yang relatif paling terjangkau. Pemerintah sudah menerapkan biaya paling mahal untuk rapid test adalah Rp150.000.
Sebenarnya, ada dua macam rapid test, yaitu tes yang mendeteksi antigen dan tes yang mendeteksi antibodi. Rapid test yang beredar secara umum adalah yang mendeteksi antibodi, yaitu IgG (immunoglobulin G) dan IgM (immunoglobulin M) spesifik untuk antigen SARS-CoV-2 (virus penyebab COVID-19), yang diproduksi oleh sel B dalam plasma darah bila virus masuk ke dalam tubuh. Pada serial artikel ini kita akan membahas rapid test antibodi, sedangkan rapid test antigen akan dibahas di serial artikel selanjutnya.
Sampel yang digunakan dalam pemeriksaan rapid test antibodi adalah darah pasien. Beberapa tetes darah yang diambil dari tusukan ujung jari pasien sudah cukup untuk pemeriksaan ini. Hasil dari rapid test antibodi adalah reaktif atau nonreaktif.
Rapid test antibodi nonreaktif pada seseorang tidak menyingkirkan kemungkinan terinfeksi COVID-19 pada orang tersebut. Bisa saja orang tersebut sudah terinfeksi COVID-19, namun antibodi terhadap virus tersebut belum terbentuk karena beberapa penyebab. Antibodi baru terbentuk sekitar satu pekan setelah tubuh terpapar virus (Sethuraman, Jeremiah, dan Ryo, 2020) .
Jika seseorang sudah terinfeksi COVID-19 dalam waktu kurang dari satu pekan, maka kemungkinan besar hasil rapid test antibodi akan nonreaktif karena antibodi pada orang tersebut belum terbentuk. Orang dengan gangguan sistem imun juga bisa saja sudah terinfeksi, namun rapid test antibodi menunjukkan hasil nonreaktif akibat adanya gangguan untuk terbentuknya antibodi dalam tubuhnya. Orang dengan gangguan sistem imun yang sistem imun adaptifnya menjadi lebih lemah juga bisa saja sudah terinfeksi, namun rapid test antibodi menunjukkan hasil nonreaktif akibat adanya gangguan untuk terbentuknya antibodi dalam tubuhnya.
Jika hasil rapid test antibodi reaktif, maka belum tentu orang tersebut sedang terinfeksi COVID-19. Antibodi yang terdeteksi pada rapid test antibodi mungkin saja ternyata antibodi terhadap virus lain atau virus corona jenis lain, bukan SARS-CoV-2 atau yang menyebabkan COVID-19. Hal ini dikenal dengan istilah cross-reactivity phenomenon atau fenomema reaktif silang (Meschi dkk., 2020) .
Bisa juga karena infeksi virus tersebut sudah sembuh, namun antibodi sebagai kekebalan terhadap virus tersebut menetap di tubuh dalam waktu yang lama (Hoffman dkk., 2020) .
Oleh karena itu, apabila rapid test menunjukkan hasil reaktif maka perlu pemeriksaan lanjutan yang bisa menegakkan diagnosis, yaitu swab PCR (Polymerase Chain Reaction) karena hanya dengan pemeriksaan ini bisa dipastikan seseorang positif terinfeksi COVID-19 atau negatif. Pemeriksaan ini bisa mendeteksi langsung keberadaan SARS-CoV-2, bukan melalui ada tidaknya antibodi terhadap virus ini. Detail mengenai pemeriksaan ini akan dibahas di serial selanjutnya dari artikel ini.
Rapid test antibodi bukan tes untuk menegakkan diagnosis COVID-19 karena keakuratannya masih perlu diteliti lebih lanjut. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO/World Health Organization) tidak merekomendasikan tes ini sebagai diagnosis dasar untuk merawat pasien, tetapi mengajurkan dilanjutkannya tes ini sebagai penelitian epidemiologis dan surveilans penyakit.
Daftar Pustaka
- Hoffman, T. et al. (2020) ‘Evaluation of a COVID-19 IgM and IgG rapid test; an efficient tool for assessment of past exposure to SARS-CoV-2’, Infection Ecology and Epidemiology. Taylor and Francis Ltd., 10(1). doi: 10.1080/20008686.2020.1754538.
- Meschi, S. et al. (2020) ‘Performance evaluation of Abbott ARCHITECT SARS-CoV-2 IgG immunoassay in comparison with indirect immunofluorescence and virus microneutralization test’, Journal of Clinical Virology. Elsevier B.V., 129. doi: 10.1016/j.jcv.2020.104539.
- Sethuraman, N., Jeremiah, S. S. and Ryo, A. (2020) ‘Interpreting Diagnostic Tests for SARS-CoV-2’, JAMA – Journal of the American Medical Association. American Medical Association, pp. 2249–2251. doi: 10.1001/jama.2020.8259. https://www.who.int/docs/default-source/searo/indonesia/covid19/saran-penggunaan-tes-imunodiagnostik-di-fasyankes-(point-of-care)-untuk-COVID-19.pdf diakses pada 30 September 2020
- Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Test Antibodi https://covid19.go.id/storage/app/media/Regulasi/SE%20Batasan%20Tarif%20Tertinggi%20
pemeriksaan%20rapidtest%20antibodi.pdf