Rokok merupakan bentuk kekerasan terhadap anak karena mengganggu kesehatan anak, sehingga anak yang merokok adalah korban. Indonesia sudah meratifikasi konvensi hak anak (KHA) bahwa anak berhak menikmati status kesehatan tertinggi maka orangtua bertanggung jawab menjaga kesehatan anak, termasuk dengan mencegah anak menjadi perokok dan mengupayakan anak yang merokok untuk berhenti. Indonesia memiliki target menurunkan prevalensi perokok anak dari 9,1% ke 8,7% pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024. Lalu bagaimana pencapaian penurunan prevalensi perokok anak tersebut?
Pusat Perilaku dan Promosi Kesehatan, FK-KMK mengadakan webinar dengan tema “Pencapaian Penurunan Prevalensi Perokok Anak pada Target RPJMN 2024” dengan mengundang Sakri Sabatmaja, SKM., M.Si dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Rini Handayani, SE, M.M dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenppa), Republik Indonesia dengan pembahas dr. Sumarjati Arjoso, SKM dari TCSC IAKMI dan Dr. Abdillah Ahsan, SE., M.E. dari Universitas Indonesia. Webinar diadakan pada tanggal 18 Januari 2023 dan diikuti oleh sekitar 200 orang.
Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 dan 2018, terjadi kenaikan prevalensi perokok. Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) menunjukkan bahwa terjadi pula kenaikan prevalensi perokok anak yang berusia 13 hingga 15 tahun. Terdapat sebesar 18,3% perokok anak di tahun 2014 dan meningkat menjadi sebesar 19,2% di tahun 2019. Hal ini dimungkinkan karena keterpaparan iklan dan melihat perokok di sekeliling anak, termasuk perokok yang terdapat di dalam rumah dan public figure yang menampilkan produk tembakau di TV atau media luar ruang. Selain itu, aturan peredaran iklan rokok di Indonesia masih belum jelas. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) memprediksi bahwa prevalensi perokok anak dapat mencapai 16% jika tidak terdapat intervensi yang memadai untuk mencegah anak dari perilaku merokok. Jumlah prevalensi perokok anak Indonesia di tahun 2023 belum diketahui. Oleh karena itu, Kemenkes mengatakan bahwa pencapaian penurunan prevalensi perokok pada target RPJM juga belum dapat dipastikan.
Pemerintah memiliki dua strategi kebijakan untuk mengendalikan produk tembakau. Strategi tersebut yaitu kebijakan fiscal melalui kenaikan cukai rokok dan kebijakan non fiscal, seperti melarang TAPS (Tobacco Advertising, Promotion and Sponsorship), implementasi KTR (Kawasan Tanpa Asap Rokok), memperbesar gambar peringatan kesehatan pada bungkus rokok, dan membatasi penjualan rokok. Pemerintah juga melakukan penguatan regulasi untuk mengurangi prevalensi perokok. Penguatan regulasi tersebut melalui upaya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012, mendorong komitmen pemerintah daerah untuk menerapkan KTR, menyediakan layanan UBM (Upaya Berhenti Merokok), meningkatkan literasi kesehatan pada peserta didik dengan menyediakan 138 bahan ajar dan 22 materi. Upaya ini dilakukan dengan bekerjasama dengan kementerian pendidikan. Selain itu, dilakukan kampanye dan edukasi yang masif, dan membangun jejaring kelompok muda anti rokok.
Kemenppa menyebutkan bahwa untuk mencapat target penurunan prevalensi anak menjadi 8,7% harus dilakukan oleh seluruh stakeholder lintas sektor, perguruan tinggi, media, peran masyarakat, termasuk peran anak sebagai subjek yang dilindungi dari perokok anak. Terdapat peraturan presiden no 25 tahun 2021 tentang kebijakan kabupaten kota layak anak (KLA). Kementerian PPPA menetapkan salah satu indikator Kota/ Kabupaten Layak Anak (KLA) pada indikator 17 klaster III KLA tentang ketersediaan kawasan tanpa rokok dan tidak ada iklan, promosi, dan sponsor rokok. Sudah 320 kota/ kabupaten yang telah mengikuti KLA.
Namun, upaya pengendalikan tembakau memiliki berbagai tantangan. Tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan upaya penurunan prevalensi perokok antara lain:
- Penguatan regulasi belum mendapatkan dukungan dari semua kementerian atau lembaga.
- Gencarnya peredaran TAPS karena industri rokok memiliki modal yang sangat besar dalam mengiklankan dan mempromosikan produknya. Upaya pemerintah, khususnya yang dilakukan oleh Kemenkes dalam mengendalikan peredaran iklan rokok, terutama melalui pelarangan berpotensi mengalami bottleneck. Hal ini karena terdapat dua kelompok, yaitu kelompok kontra dan kelompok pro terhadap aturan pelarangan TAPS.
- Harga rokok masih murah, sehingga masih dapat dibeli oleh anak.
- Teknologi produk tembakau yang terus berkembang dan berinovasi.
- Dukungan politik yang membela kelompok remaja.
Kementerian kesehatan dalam menurunkan prevalensi perokok anak memiliki beberapa peran, yaitu:
- Pembahasan Revisi PP 109/2012 antar kementerian/lembaga;
- Mendorong komitmen dan konsistensi pemerintah daerah dalam menerapkan KTR;
- Memperkuat narasi peningkatan pajak rokok sebagai instrumen pengendalian konsumsi tembakau;
- Meningkatkan literasi bahaya merokok ke dalam sistem pendidikan dari PAUD hingga SMA;
- Meningkatkan akses dan kualitas layanan UBM;
- Mengedukasi dan menggerakan masyarakat dan jejaring dalam meningkatkan perilaku sehat tanpa merokok;
- Secara aktif melakukan audiensi dan advokasi lintas sektor.
Pencegahan perokok anak menggunakan konsep perubahan perilaku dari berbagai tingkatan. Langkah strategis KemenPPPA dalam mencapai target RPJMN diantaranya:
- Region/ wilayah: melalui kebijakan Kota Layak Anak (KLA) klaster 3 indikator 17.
- Kementerian Desa (PDPP): Desa ramah perempuan dan peduli anak à Salah satu indikator SDGS desa yaitu persentase perokok ≤ 18 tahun mencapai 0%
- Kementerian Dalam Negeri: tingkat kelurahan à Edukasi pengasuhan dari orangtua agar orangtua melindungi anak dengan tidak menyuruh anak membeli rokok
- Lingkungan : PKA, RBRA, Puskesmas Ramah Anak (PRA), dll
- Sekolah : Sekolah Ramah Anak (SRA), adanya KTR, penguatan UKS, partisipasi anak.
- Keluarga : 135 Puspaga (Pusat Pembelajaran Keluarga)
- Anak : Forum anak (melalui 2P anak sebagai pelopor dan pelapor dalam pencegahan merokok) melalui kerjasama dengan berbagai pihak termasuk NGO yang fokus pada pencegahan anak merokok.
Materi dapat diunduh disini