Stunting merupakan salah satu masalah kesehatan prioritas di Indonesia. Data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021 menunjukkan bahwa prevalensi stunting sebesar 24,4%. Pemerintah Indonesia menargetkan angka prevalensi stunting turun menjadi 14% pada tahun 2024. Menanggapi hal tersebut, Keluarga Alumni Gajah Mada Kedokteran (KAGAMADOK) bekerjasama dengan Pusat Perilaku dan Promosi Kesehatan FK-KMK UGM dan Alumni Kedokteran Angkatan 86 UGM mengadakan “Talkshow: Menggalang Peran Perempuan dalam Keluarga untuk Menurunkan Prevalensi Stunting” yang dilaksanakan 1 April 2022 secara hybrid dan diikuti sekitar 300 peserta.
Dalam kegiatan ini Dr. (HC) dr. H. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K) selaku ketua BKKBN menyampaikan bahwa upaya percepatan penurunan stunting penting dilakukan untuk menciptakan generasi yang unggul dan berkualitas, terutama dalam memasuki dependensi rasio yang memungkinkan adanya celah bonus demografi. Terdapat lima pilar strategi nasional untuk mempercepat penurunan stunting menjadi 14%. Lima pilar tersebut yaitu peningkatan komitmen dan visi kepemimpinan di berbagai level, peningkatan komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat, peningkatan konvergensi intervensi spesifik dan sensitif, peningkatan ketahanan pangan dan gizi serta penguatan dan pengembangan sistem, data, informasi, riset dan inovasi.
Membicarakan stunting, tidak akan bisa lepas dari peran perempuan terutama saat perempuan menjalani fase kehamilan. Masa kehamilan merupakan salah satu periode kritis dalam perkembangan manusia. Prof. dr. Ova Emilia, MMedEd, PhD, SpOG(K), dekan FK-KMK UGM menjelaskan bahwa usia ibu hamil, anemia dan depresi saat kehamilan, kehamilan yang tidak direncanakan, kehamilan berulang dalam waktu berdekatan, status nutrisi ibu hamil dan literasi kesehatan menjadi faktor risiko antenatal yang dapat mempengaruhi kejadian stunting pada anak. Ova Emilia merekomendasikan “intervensi 3P” untuk mencegah stunting selama masa kehamilan. Intervensi 3P tersebut adalah:
- Intervensi Pola Pikir dengan meningkatkan literasi kesehatan sejak remaja mengenai kesehatan reproduksi, kehamilan dan family planning serta meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan ibu hamil dalam menjaga kehamilan.
- Intervensi perilaku dengan menerapkan PHBS dan menghindari kehamilan 4T (terlalu muda, tua, banyak dan rapat).
- Intervensi produk kebijakan yang mendukung penguatan akses ibu hamil terhadap nutrisi dan antenatal care.
Periode kritis lainnya yang dapat mengarah pada kejadian stunting yaitu 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Kekurangan nutrisi untuk waktu yang lama dan status kesehatan anak, terutama di masa 1000 HPK menjadi penyebab langsung kejadian stunting. dr. Mei Neni Sitaresmi, PhD,Sp.A(K), Direktur Eksekutif AHS UGM mengatakan bahwa stunting pada masa tumbuh kembang dapat dicegah dengan inisiasi menyusui dini, memberikan ASI eklusif, memberikan makanan pendamping ASI yang tepat dan adekuat, pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak, tata laksana gangguan pertumbuhan, mencegah anak terkena infeksi dengan melakukan imunisasi, air bersih dan sanitasi serta MBTS (Manajemen Terpadu Balita Sakit).
Stunting erat kaitannya dengan kasus kekurangan nutrisi. Prof. Dr. Ir. Endang S. Rahayu, MS., Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM menjelaskan bahwa diet keragaman makanan yang kurang akibat kurangnya akses terhadap kesediaan makanan bergizi berpengaruh terhadap kejadian malnutrisi, termasuk stunting. Diet keragaman makanan juga penting untuk Gut Microbiota atau mikroba dalam usus. Jika terjadi ketidakseimbangan jumlah mikroba dalam usus akibat pola makan yang tidak sehat atau yang disebut dengan dysbiosis, maka akan mengurangi penyerapan nutrisi dalam tubuh yang dapat mengarah pada kejadian malnutrisi. Faktanya, data asupan gizi anak normal dan malnutrisi di Yogyakarta menunjukkan bahwa anak malnutrisi memiliki pola makan yang kurang sehat. Mereka lebih banyak mengonsumsi snack dan makanan manis.
Pola makan anak biasanya dipengaruhi oleh peran ibu. BKKBN melakukan penelitian mengenai pembagian peran suami istri dalam mempertahankan keharmonisan keluarga di masa pandemi dengan mewawancarai 20.400 keluarga. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun mayoritas peran suami istri seimbang dalam keluarga, namun istri dominan atau hanya istri saja berperan lebih banyak dalam melakukan pekerjaan rumah, mengasuh anak, membeli kebutuhan rumah, dan mengingatkan hidup sehat jika dibandingkan dengan peran suami dominan atau hanya suami saja. Oleh karena itu diperlukan peningkatan kualitas perempuan atau kesejajaran peran suami istri dalam keluarga yang dapat berpengaruh dalam upaya penurunan prevalensi stunting.
Secara biologis perempuan memiliki fungsi reproduksi. Perempuan juga secara sosial dan kultural menerima tanggung jawab tambahan dalam mengerjakan tugas domestik. Prof. Dr. Wening Udasmoro, S.S, M.Hum, DEA, Staf Ahli Pusat Studi Perempuan UGM dan Staf Pengajar FIB UGM mengatakan bahwa beban domestik yang tinggi pada perempuan karena kurangnya keterlibatan laki-laki menyebabkan kelelahan yang berdampak pada fisik, terutama fungsi reproduksi dan psikologis perempuan. Budaya patriarki juga menyebabkan perempuan memiliki akses yang kurang dalam mendapatkan makanan bergizi karena bapak atau suami lebih didahulukan dalam mendapatkan makanan. Selain itu, ketidak siapan mental dan fisik anak yang menjalani perkawinan dini dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang memungkinkan ibu mengalami depresi meningkatkan risiko prematuritas yang lebih tinggi. Faktor-faktor tersebut menyumbang risiko terjadinya stunting pada anak.
Penanggulangan stunting perlu diperkuat dengan adanya kebijakan. Lalu bagaimana implementasi kebijakan kesehatan ibu dan anak sehingga dapat menurunkan prevalensi stunting di Daerah Istimewa Yogyakarta? dr. Etty Kumolowati, M.Kes., selaku Sfaf Ahli Gubernur DIY bidang Sosial Budaya dan Kemasyarakatan menyebutkan bahwa setiap kabupaten/kota di DIY sudah memiliki berbagai program untuk menurunkan stunting seperti peningkatan literasi kesehatan remaja dan ibu hamil, gerakan menanggulangi anemia dan thalasemia, peningkatan antenatal care, serta peningkatan ekonomi masyarakat sehingga dapat menyediakan keberagaman makanan yang bergizi dalam keluarga. Bahkan Kota Yogyakarta telah menetapkan rencana aksi daerah dengan menerapkan konsep 8000 HPK untuk mencegah stunting yang disahkan dalam peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 41 Tahun 2021. (Ifa Najiyati)
Materi dapat diunduh disini
Kegiatan dapat disaksikan kembali melalui youtube CHBP FK-KMK UGM